TOKOH
Ketegaran Kiai Said Hadapi Ribuan Tantangan dalam Memimpin Ormas Islam Terbesar di Indonesia
October 16, 20200
Dakwah NU
Perjuangan menegakkan ke-Indonesia-an dipenuhi dengan tantangan yang berliku. Cercaan, hinaan, bahkan sampai pengkafiran bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Tetapi langkah kalau sudah ditegakkan, tak boleh mundur sejengkalpun. Itu pula yang dijalani KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU saat ini. Sepanjang menjadi Ketua Umum PBNU sejak 2010, banyak sekali cibiran yang dialami Kang Said, panggilan akrabnya, tetapi semangat pengabdian dan perjuangan untuk NU dan Indonesia tak bisa ditawar lagi. Bahkan label kafir yang diterimanya tak membuat dirinya gamang untuk menjalankan tugas dan amanah para kiai dalam meneguhkan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Keempat pilar ini sering disingkat Kang Said menjadi PBNU.
Ketegaran Kang Said dalam menghadapi beragam tantangan dan dalam memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU, tak lain karena didikan pesantren yang sangat melekat dalam dirinya. Dilahirkan di Cirebon, 3 Juli 1953, Kang Said langsung mendapat didikan ilmu dasar agama dari ayahnya, KH Aqil Siraj. Pengembaraan keilmuannya dilanjutkan di Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Mahrus Ali, lalu ke Pesantren Krapyak Yogya di bawah asuhan KH Ali Maksum, dan Universitas Ummul Quro Mekah. Tahun 1994, Kang Said kembali ke Indonesia dan langsung diajak Gus Dur masuk dalam kepengurusan PBNU. Selepas Muktamar di Pesantren Cipasung Tasikmalaya 1994 itu, Gus Dur mendudukkan Kang Said dalam posisi Wakil Katib Aam PBNU. Gus Dur bahkan memuji Kang Said sebagai doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi.
Karakter Kitab Kuning
Pengembaraan dari berbagai pesantren itu menjadi sikap dan karakter Kang Said dalam menyikapi berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Kitab kuning yang menjadi ciri khas keilmuan pesantren melekat kuat, sehingga dalil-dalil kitab kuning selalu dipaparkan Kang Said dalam menguatkan nasionalisme kebangsaan. Lihat saja ketika memaknai jihad. Ketika “mereka” menyempitkan jihad hanya sebatas “perang”, Kang Said tampil dengan gagasan yang brilian. Kitab kuning menjadi rujukannya, yakni kitab Fathul Mu’in. Kitab ini ditulis oleh Syeikh Zainuddin al-Malibary (w. 1552) dari India.
Dalam Fathul Mu’in, Kang Said menjelaskan bahwa jihad itu ada empat macam. Pertama, jihad menegaskan eksistensi Allah di muka bumi seperti melantunkan azan, takbir, dan berbagai macam dzikir dan wirid. Kedua, jihad menegakkan syariat dan agama (iqomatu syari’atillah), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Ketiga, berperang di jalan Allah (al-qital fi sabilillah). Artinya, jika ada komunitas yang memusuhi kita, dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, kita baru bisa berperang sesuai rambu-rambu yang ditetapkan, tidak asal saja. Keempat, mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung oleh pemerintah. Cara pemenuhan itu bisa dilakukan dengan mencukupi pangan, sandang, dan papan.
Dari keempat model ini, tak satu pun mengajarkan menjadi teroris. Kalau berperang, itu pun karena umat Islam terlebih dahulu diserang. Perang pun dalam Islam juga ada aturan main, diantaranya melindungi kaum perempuan, anak-anak, yang masuk masjid, dan kaum lemah. Kalau ada yang berperang secara membabi-buta, apalagi dengan seperti bom bunuh diri, menteror orang lain, membunuh, semua itu sama sekali tak terkait sama sekali dengan aturan main berperang dalam Islam. Perang merupakan “pilihan terakhir yang paling sulit” yang disyariatkan Islam untuk menjaga diri dari kerusakan.
Di sini, Kang Said seringkali mengartikan jihad dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, yakni menjaga Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Nasionalisme selalu diteguhkan Kang Said, bahkan di berbagai pengajian dengan masyarakat di pelosok desa.
Sumber Tulisan PB.NU