Islam Nusantara menjawab kemajmukan Bangsa,PWNU Jawa Timur

Home Nasional                                           Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur :                                                                          Islam Nusantara Menjawab    Kemajemukan Bangsa

ARTIKELNASIONAL
Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur : Islam Nusantara Menjawab Kemajemukan Bangsa
April 24, 20201

“Islam Nusantara bukanlah mazhab atau aliran tertentu, melainkan khosois atau tipologi. Ciri khas Islam Nusantara adalah Islam yang melebur dengan budaya. Islam Nusantara adalah Islam yang tidak memusuhi ataupun memberangus budaya yang ada, justru budaya setempat diakomodasi dan dilestarikan selama tidak bertentangan dengan aturan atau syariat Islam.”  – KH. Said Aqil Siroj

Bangsa Indonesia secara demografis dan sosiologis merupakan wujud bangsa yang majemuk. Karakteristik yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, sukubangsa, dan keyakinan agama serta kebiasaan kebiasaan kultural lainnya. Dapat disadari bahwa kemajemukan ini merupakan kekayaan alamiah bangsa Indonesia. Namun disisi lain, kemajemukan ini memiliki potensi bagi terjadinya disintegrasi atau perpecahan bangsa. Kemajemukan ini juga kerap kali dijadikan alat untuk memicu konflik sukubangsa, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Tentu salah satu pemicu konflik adalah faktor antar agama maupun se-agama, sebab bagi masyarakat Indonesia agama adalah sistem acuan nilai(system of referenced values) yang menjadi dasar dalam bersikap dan bertindak bagi pemeluknya.

Dengan keadaan yang terjadi sebagaimana yang penulis tulis, Nahdlatul Ulama memberikan sebuah jawaban atas persoalan tersebut. Digelarnya Muktamar NU ke-33 di Jombang yang mengangkat ide ISLAM NUSANTARA, ini merupakan sebuah identitas konsep keislaman yang digaungkan oleh Nahdlatul Ulama. Ide ini tidak lepas dari warisan ulama-ulama terdahulu yang tersambung dengan model dakwah Islam Walisongo. Dakwah Islam Nusantara hadir untuk membumikan Islam yang ramah dengan berkarakter lokal, dengan tradisi dan budaya setempat dengan tetap dan berangkat dari titik pijak Islam.

Islam yang datang ke Nusantara merupakan Islam yang sudah paripurna karena telah mengalami dialog intensif dengan berbagai peradaban besar dunia seperti Persia, Turki, Cina, dan sebagainya. Islam model itulah yang diajarkan di berbagai pesantren, padepokan, dan sebagainya. Baru dikukuhkan para wali dan ulama dalam kontek budaya nusantara. Prinsip Islam itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai basis pengembangan budaya, kesusasteraan, teknologi dan termasuk dijadikan sumber serta rujukan dalam merumuskan sistem politik kenegaraan. Walaupun Islam yang masuk ke Nusantara telah berdialog dan bergumul dengan berbagai budaya besar dunia, tetapi otentisitas serta kemurniannya tetap terjaga.

Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI) terdapat tradisi dan budaya dalam sistem pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal itu menjadi ciri khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di negeri lain. Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara riil dalam beberapa hal, antara lain:

Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halal bihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca solawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik oleh keluarhga wanita maupun keluarga laki- laki,dan tradisi
Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah, pakaian adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian adat lain, terutama telihat dalam pakian pernikahan dimana pengantin dirias dan dipajang di pelaminan, dan lain
Dalam hal toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang solat Id di lapangan, di masjid, musalla, bahkan ada hari raya dua Ada yang shalat tarawih 20 rakaat, ada pula yang delapan rakaat. Di antara pelaksanaan tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada